HUKUM JIMAT DALAM ISLAM
Kali ini saya ingin
membahas seputar Hukum Pemakaian Jimat/Wifiq/azimah didalam Islam yang memang
sudah tidak asing lagi bagi Masyarakat di Indonesia ini.
Tujuan saya membuat artikel ini, tidak lain hanya ingin menghilangkan kerancuan & sikap suuzhon sebagian umat terhadap kalangan atau mereka yang menggunakan Jimat dan sejenisnya ini..
Tujuan saya membuat artikel ini, tidak lain hanya ingin menghilangkan kerancuan & sikap suuzhon sebagian umat terhadap kalangan atau mereka yang menggunakan Jimat dan sejenisnya ini..
InsyaAllah Ilmu yang saya sampaikan disini dapat saya pertanggung jawabkan baik
di dunia maupun di akhirat nanti, karna Ilmu-ilmu, dalil-dalil yang saya
dapatkan, adalah bersumber dari para Ahli yang paham & mengerti betul
Bidang-bidang Ilmu Agama Islam.. Semoga Bermanfaat.. :-)
DALIL YANG MEMPERBOLEHKAN :
DALIL YANG MEMPERBOLEHKAN :
Jimat atau azimat dalam
bahasa Arab disebut dengan tamimah
(penyempurna). Makna tamimah adalah setiap benda yang digantungkan di leher
atau selainnya untuk melindungi diri, menolak bala, menangkal penyakit ‘ain (Penyakit
yang punya kekuatan membunuh yang muncul dari pandangan mata.) dan dari bahan
apa pun. (Lisanul Arab 12/69). Dalam perkembangannya, yang dimaksud azimat
adalah segala benda yang diyakini memiliki berkah untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sebagian orang
berpendapat bahwa azimat adalah syirik
dengan mengambil dasar hadits shahih riwayat Ahmad berikut:
إِنَّ
الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya
suwuk (rukyah), jimat dan pengasihan adalah syirik.”
Banyak orang yang tidak
paham hadis, menelan mentah-mentah hadis tersebut dan mengatakan (dengan
ketidaktahuannya) bahwa semua rukyah dan jimat adalah syirik. Padahal yang
dimaksud hadis tersebut tidak demikian.
Dalam ilmu hadis, untuk
bisa memahami hadis, kita harus memahami sejarah munculnya hadis tersebut atau
asbabun wurud-nya suatu hadits. Sehingga kita bisa mengambil kesimpulan yang
tepat. Sayangnya, banyak orang yang merasa pintar berdalil padahal dia hanya
membaca hadis terjemahan dan kemudian mengambil kesimpulan sendiri.
Imam al-Munawi menjelaskan, menggunakan rukyah (kecuali
yang syar’iyyah), jimat dan pelet (pengasihan) dianggap syirik sebagaimana
dalam redaksi hadits, karena hal-hal di atas yang dikenal di zaman Rasulallah
sama dengan yang dikenal pada zaman jahiliyah yaitu ruqyah (yang tidak
syar’iyyah), jimat dan pengasihan yang mengandung syirik. Atau dalam hadits,
Rasulallah menganggap rukqah adalah syirik karena menggunakan barang-barang
tersebut berarti pemakainya meyakini bahwa benda-benda itu mempunyai pengaruh
(ta’tsir) yang bisa menjadikan syirik kepada Allah.
Imam Ath-Thayyibi
menanggapi hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan syirik pada hadits di
atas adalah apabila seseorang meyakini
bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan dan bisa mempengaruhi (merubah sesuatu)
dan itu jelas-jelas bertentangan dengan ke-tawakkal-an kepada Allah. (Faidhul
Qadir 2/426.)
Namun, jika jimat
tersebut berupa asma atau kalam Allah atau dengan (tulisan berbentuk) dzikir
Allah yang tujuannya untuk ber-tabarruk kepada Allah atau penjagaan diri serta
tahu bahwa yang dapat memudahkan segala sesuatu adalah Allah maka hal itu tidak diharamkan. Pendapat ini
disampaikan Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir. (Ibid.
6/223.)
Hukum ini juga berlaku
untuk semua jenis benda yang berasal dari peninggalan orang-orang Sholeh atau
para Wali Allah, untuk kita bertabbaruk (Mengambil Berkah) dari benda-benda
tersebut, dengan berbagai dalil, diantaranya :
1. “Dia (Asma’ binti
Abi Bakar ash-Shiddiq) mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan
kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup.
Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam.
Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya.
Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam, oleh
karenanya kita mencucinya (agar diambil berkahnya) sebagai obat bagi
orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di
air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.
Dalam menjelaskan
riwayat di atas Imam an-Nawawi di dalam kitab beliau Shahih Muslim Bi Syarh
an-Nawawi ( Shahih Muslim karya al-Imaam
Muslim bin al Hajjaj (Imam Ahli hadits), menuliskan: Dalam riwayat ini terdapat
dalil dalam anjuran untuk mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan
orang-orang saleh, seperti dengan baju mereka.
2. kemudian hal itu
tidak berlaku hanya kepada peninggal Nabi saja, namun SEMUA muslim yang Sholeh,
dapat pula kita mengambil berkah darinya, dalilnya :
Sabda Rasulullah saw :
“keberkahan adalah ada pada ulama ulama kalian (Shahih Ibn Hibban hadits
no.559)
Berkata Imam Al Hafidh
Ibn Hajar : bahwa kedatangan Nabi saw atas undangan orang yg minta beliau saw
shalat dirumahnya untuk dijadikan musholla adalah Hujjah yg jelas atas bolehnya
Tabarruk dgn bekas bekas orang shalih, dan peringatan bagi mereka yg mengira
bahwa hal hal itu adalah kemungkaran”. (Fathul baari Al masyhur Juz 1 hal 569)
3. Berkata Al hafidh
Imam Nawawi mengenai hadits ketika orang yg meminta Nabi saw datang kerumahnya
untuk shalat dirumahnya agar ia jadikan tempat Rasul saw shalat dirumahnya itu
musholla, bahwa “hadits ini merupakan dalil bolehnya tabarruk dg bekas bekas
shalihin, dan bertabarruk dg kunjungan para ulama dan orang orang mulia, dan
keberkahan pada mereka” Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 1 hal 244)
Dan masih banyak lagi
dalil-dalil Tabarruk lainnya yang tidak sanggup untuk saya cantumkan satu-persatu
disini.
WIFIQ
:
Adapun wifiq adalah
semacam jimat yang cara penulisannya dikembalikan pada kesesuaian hitungan dan
dalam bentuk tertentu. Wifiq ini dapat bermanfaat untuk segala hajat, termasuk
keselamatan, keberhakan dalam usaha, penyembuhan penyakit, memudahkan orang
yang melahirkan dan lain-lain.
Ibnu Hajar al-Haitami
dalam Fatawi Haditsiyyah-nya menjawab: hukum menggunakan wifiq tersebut adalah
boleh jika digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan syari’at dan jika
digunakan untuk melakukan hal haram maka hukumnya haram. Dan dengan ini, kita dapat
menjawab pendapat al-Qarafi (ulama Malikiyyah murid ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam)
yang menegaskan bahwa wifiq adalah termasuk bagian dari sihir. (Fatawi
Haditsiyyah hlm. 2)
Di antara ulama Islam
yang ahli dan berkecimpung secara langsung dengan pembuatan wifiq adalah
Al-Ghazali. Bahkan Shohabat Rasulullah SAW, Sayyidina Abdurrohman bin auf RA,
pernah menulis huruf-huruf permulaan AlQur`an dengan tujuan menjaga harta benda
agar aman.
Ulama Salaf Imam Sufyan
al tsauri menuliskan untuk wanita yang akan melahirkn dan digantung didada.
Dan bahkan Ulama
seperti Ibnu taimiyah al harrani-pun pernah menulis QS Hud. 44 didahi orang
yang mimisan.
Mengamalkan doa-doa,
hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa
kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak
lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat
menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
اُدْعُوْنِيْ
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah
kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu”. (QS al-Mu’min: 60)
Ada beberapa dalil dari
hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ
بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ
الجَاهِلِيَّةِ،
فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟
فَقَالَ:
اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ
فِيْهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan
bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu
kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal
itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak
apa-apa selama di dalamnya tidak
terkandung kesyirikan.” (HR Muslim. 4079).
Dalam At-Thibb
an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
Dari Abdullah bin Umar,
bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
”Apabila
salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya): Aku
berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan
siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan
serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan
orang tersebut.”
Abdullah bin Umar
mengajarkan bacaan tersebut kepada anakanaknya yang baligh. Sedangkan yang
belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di
lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).
Dengan demikian, Wifiq atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara
tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
Dari Abdullah, ia
berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “‘Sesungguhnya hizib, azimat
dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad. 3385).
Mengomentari hadits
ini, Al-Imam Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para
ulama yang lain mengatakan: “Keharaman
yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang
digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila
yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak
berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta
perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya.” (Faidhul Qadir,
juz 6 hal 180-181).
lnilah dasar kebolehan
membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama
salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.
Al-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu
kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang
diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya
sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan
an-Nas).”
Al-Marrudzi juga
menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas,
basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70,
Allahumma rabbi jibrila dst.
Abu Dawud menceritakan,
“Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih
kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang
yang mimisan (keluar darah dari hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal
Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).
KETENTUAN-KETENTUAN
DALAM MENGGUNAKAN JIMAT :
Namun tidak semua
doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus
diperhatikan.
1. Menggunakan/Berasal dari Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW.
2. Bila jimat tersebut berbentuk sebuah benda/barang/petilasan tertentu, HARUS dapat dipastikan bahwa itu berasal dari barang-barang peninggalan orang-orang Sholihin, dan TIDAK BOLEH berasal dari peninggalan orang-orang Kafir atau Fasik. atau bisa juga bila benda/barang/petilasan itu telah didoa-doakan terlebih dahulu
3. Tertanam keyakinan
bahwa azimat itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tidak dapat memberi manfaat apapun, kecuali hanya karena takdir, izin dan kuasa daripada Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu
hanya sebagai salah satu sebab/wasilah/perantara saja.” (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah,
hal 82-83).
KESIMPULAN
:
Jadi apakah islam
memperbolehkan azimat..?? Menurut pendapat dari ulama besar yang kami ikuti
perkataannya, bahwa islam memperbolehkan penggunaan azimat selama azimat
tersebut, ASAL sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.
Ibaratnya seorang
Polisi yang selalu membawa Pistol, apakah Polisi tersebut dapat dikatakan
Syirik/Musyrik..??
tentu saja tidak demikian, karna Pistol tersebut hanya WASILAH saja untuk pengamanan Polisi tersebut, sedangkan Syirik adalah MENYEMBAH selain kepada Allah SWT, tentu Polisi tersebut tidak menyembah Pistol tersebut bukan..?? begitu pula dengan orang-orang yang hendak menggunakan Jimat dan sejenisnya.
tentu saja tidak demikian, karna Pistol tersebut hanya WASILAH saja untuk pengamanan Polisi tersebut, sedangkan Syirik adalah MENYEMBAH selain kepada Allah SWT, tentu Polisi tersebut tidak menyembah Pistol tersebut bukan..?? begitu pula dengan orang-orang yang hendak menggunakan Jimat dan sejenisnya.
Ingat bahwa “Setiap
Amal itu tergantung pada NIATnya”, jika Niat kita hanya ingin Bertabbaruk,
berikhtiar melalui Jimat tersebut maka tidak mengapa, lain hal jika NIAT kita
menggunakan Jimat tersebut, memang bertujuan untuk Kemaksiatan kepada Allah
SWT, tentu hal itu dilarang..
WALLAHU’ALAM..
👍👍👍👍
BalasHapus👍👍👍👍
BalasHapus👍👍👍👍
BalasHapus